Oleh: Muh. Ridhal Rinaldy
Bak cendawan di musim hujan, penyebaran virus Corona di Indonesia semakin luas. Hingga 30 Maret 2020, kasus akibat Covid-19 yang tersebar di 30 provinsi terbilang menjulang. Data pasien positif telah mencapai 1.285 orang, meninggal dunia sebanyak 114 rang, dinyatakan sembuh sebanyak 64 orang.
Himbauan Social distancing (jaga jarak secara sosial) yang kemudian diubah menjadi physical distancing (jaga jarak secara fisik) merupakan langkah pemerintah untuk menekan penyebaran virus. Masyarakat diajak untuk bekerja dari rumah, work from home (WFH), belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Selain itu, pemerintah berharap kebijakan “menjaga jarak secara fisik” ini dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat dengan disiplin, baik di dalam rumah dan di luar rumah jika ada kepentingan mendesak. Melihat kondisi masyarakat saat ini, “menjaga jarak secara fisik” dianggap cara paling efisen dari pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19. Meskipun ada beberapa pihak, baik secara individu maupun kelompok, meminta presiden untuk memilih lockdown (penutupan total) sebagai solusi. Tetapi, physical distancing masih dianggap sebagai solusi yang paling tepat untuk kultur masyarakat Indonesia, tentunya dalam pandangan pemerintah.
Adapun keputusan ini membuat masyarakat sedikit membandingkan kinerja pemerintah Indonesia dengan pemerintah luar negeri yang seakan lebih berani mengambil sikap. Tetapi, keputusan untuk tidak mengambil lockdown sebagai jalan keluar dari masalah Covid-19 disebabkan oleh kenyataan-kenyataan yang jelas terjadi di lapangan. Himbauan untuk physical distancing saja belum bisa maksimal dilakukan, masih banyak masyarakat kita yang kekeh beraktifitas di luar rumah dan mengakibatkan banyak interaksi, baik secara individu maupun kelompok.
Hemat penulis, tak bisa dinafikkan bahwa kultur masyarakat Indonesia cenderung komunal. Dimana masyarakat Indonesia tidak terbiasa hidup sendiri (individual) berlama-lama dan mempunyai semangat gotong royong atau bersama-sama.
Selanjutnya, masyarakat Indonesia yang dikenal kuat akan nilai spiritualitas cenderung percaya dan berserah diri bahwa apa yang akan terjadi semua atas kehendak Tuhan. Datangnya pandemi ini dianggap sebagai takdir.
Namun, hal tersebut belum cukup untuk diterima sebagai alasan menolak lockdown. Aktifitas-aktifitas di ruang publik akan tetap ada, bukan karena masyarakat tidak sadar terhadap bahaya pandemi Covid-19, tetapi semata-mata karena dipaksa oleh keadaan. Bayangkan saja, meskipun ada himbauan untuk physical distansing, apakah mungkin seorang pekerja buruh serabutan akan memilih untuk mengisolasi diri di rumah? Bagaimana dengan kebutuhan sehari-harinya? Bagaimana peran pemerintah dalam menghadapi kondisi masyarakat seperti itu?
Saat ini, bukan hanya persoalan kultur budaya masyarakat Indonesia yang menjadi persoalan, tetapi pemerintah dihadapkan pada dilematik persoalan akibat Corona.
Physical Distancing dan Lockdown
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menggunakan istilah physical distancing guna memperjelas bahwa bukan relasi sosial yang diberi jarak, melainkan fisik. Sedangkan lockdown dapat diartikan sebagai karantina wilayah. Namun ada beberapa macam lockdown menurut undang-undang yang akan diulas lebih lanjut. Karantina wilayah dimaksudkan untuk menutup akses keluar masuk, mencegah perpindahan virus dari orang yang berpotensi membawa dan menyebarakn Covid-19.
Dalam konteks penanggulangan wabah covid-19 di Indonesia, pemerintah terlihat dilematik dalam memilih solusi yang tepat. Menurut penulis, antara physical distancing dan lockdown masing-masing memiliki plus-minus yang sama.
Pertama, apabila pemerintah tetap mempertahankan physical distancing dengan kondisi yang masih banyak masyarakat yang belum disiplin, maka tidak ada jaminan bahwa penyebaran virus tidak akan melejit. Apabila volume korban positif Covid-19 tidak sebanding dengan ketersediaan para tenaga medis dan perlengkapan medis, maka hal ini akan berpotensi chaos. Kita dapat belajar dari Italia, staf medis tertekan harus memilih pasien mana yang harus dirawat dan yang harus dibiarkan.
Kedua, penerapan lockdown bukan berarti yang terbaik apabila kesiapan pemerintah belum cukup memadai. Apabila ini diterapkan, potensi chaos dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan tidak terkendali dapat terjadi. Jika ketersediaan pangan terbatas, maka juga akan berpotensi chaos. Sekali lagi kita bisa belajar dari sunami Palu, masyarakat harus melakukan penjarahan untuk bertahan hidup.
Konsekuensi Hukum
Istilah social distancing, physical distancing, dan lockdown dalam perundang-undangan di Indonesia dikenal dengan istilah karantina. Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, karantina dilakukan ke dalam beberapa bentuk, yaitu karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar.
Karantina rumah adalah pembatasan penghuni dalam suatu rumah beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit.
Menurut pasal 50, hal tersebut dilaksanakan pada situasi ditemukannya kasus kedaruratan kesehatan masyarakat yang terjadi hanya di dalam satu rumah. Dan selama penyelenggaraan karantina rumah, menurut pasal 52, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam karantina rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Sedangkan, karantina wilayah atau dapat diartikan sebagai lockdown menurut UU tersebut berarti pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit.
Karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat disuatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Salah satu pertanggungjawaban oleh pemerintah dari penyelenggaraan karantina wilayah menurut pasal 55, bahwa selama dalam “karantina wilayah”, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
K
Saat ini Menko Polhukam, Mahfud MD, sedang mempersiapkan payung hukum terkait “karantina kewilayahan”. Dalam rangkaian menghadapi Covid-19, akan disusun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai respon dari sejumlah daerah yang melakukan pembatasan secara mandiri. Undang-undang “karantina wilayah” perlu disertai dengan PP agar penyampaian dan implikasinya menjadi jelas dan terarah. Mahfud MD juga menjelaskan bahwa dalam PP tersebut akan diatur kapan sebuah daerah boleh melakukan pembatasan gerakan, apa syaratnya, apa yang dilarang untuk dilakukan, dan bagaimana prosedurnya.
Semua usaha butuh dukungan dari semua lini. Sembari menunggu PP tersebut disahkan dan ada solusi segar dari pemerintah, sebagai masyarakat hukum tentunya kita tidak perlu menunggu aturan untuk rajin mencuci tangan dan menjalankan “jaga jarak secara fisik” dengan orang lain. Ingat, Covid-19 tidak mau menunggu.
Penulis adalah : alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta