Kendari (Sultra) – Suara Migrofon menggema di gerbang kantor Gubernur Sultra, tak pelak membuat Pol PP bertindak cepat menutup gerbang dan seruan aksi dari AP2 (Aliansi Pemuda dan Pelajar Sulawesi Tenggara) bersama masyarakat yang terbelenggu dan tertindas hak-hak mereka dalam perampasan lahan di Nanga-nanga kecamatan Baruga kota kendari oleh pemprov Sultra, Selasa (14/01/2020).
Aksi massa tersebut dipicu oleh perseteruan (sengketa) lahan antara Pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara dengan masyarakat eks Tapol G30S PKI atau Masyarakat Nanga-nanga terus bergejolak hingga berita ini diturunkan.
Penyelesaian lahan tanah masyarakat kawasan berasal dari Surat Keputusan Bupati Kendari Nomor 79 Tahun 1976 tentang penunjukan Tanah Negara bebas tempat pemukiman eks Tapol G30 S yang penempatannya dipindahkan ke kawasan Lahindu (perkampungan turun temurun Masyarakat Nanga-nanga) dengan perjanjian antara Laksamada XIV
Hasanuddin, Pemda Kab. Kendari dengan masyarakat Nanga+nfanga yang diwakili oleh H. Surabaya bahwa lahan tanah masyarakat tersebut dipinjam untuk sementara kegunaanya untuk pembinaan eks Tapol mulai Tahun 1976 s/d 1982 seperti yang diungkapkan oleh Laode
Hasanuddin dari Pembinaan AP2.
Laode Hasanudin kembali menyatakan bahwa penyerobotan lahan warga Nanga-nanga tidak akan menyelesaikan masalah.
“Kami duga tidak akan ada penyelesaian, karena lahan yang luasnya ratusan hektar telah dibagi bagi oleh pihak Pemprov Sultra kepada Kejaksaan Tinggi 51 ha, dibuktikan dengan pembangunan perumahan Adhyaksa, Korem 143 HO 51 Ha, Polda Sultra 51 Ha, POM 25
Ha, Lapas 25 Ha, Serta pembangunan Perumahan PNS seribu unit, seperti yang diungkapkan oleh ketua Umum AP2 Roman S.Pd,” ucapnya.
“Pembangunan terus berjalan pembuatan
jalan, drainase, dan fasilitas umum terus dikembangkan tanpa melihat kami selaku pemegang hak milik lahan tersebut di Nanga-nanga dimana pembayaran ganti rugi tidak pernah terealisasi,” ungkap Guslan, salah satu warga dari 38 KK yang dipelintir haknya.
Tahun 1983 kembali Masyarakat Nanga-nanga mempertanyakan pengembalian lahan masyarakat kepada Laksamada Korem 143 Kendari Dan Dinas Sosial Politik provinsi Sultra tapi jawaban adalah tindakan ancaman pelanggaran HAM kepada masyarakat Nanga-nanga dan ditahan selama 3 (tiga) bulan tanpa adanya BAP, seperti diutarakan Asia Tora.
Tahun 1996/1997 masyarakat Nanga-nanga kembali mengadukan masalah ini kembali di DPRD Provinsi Sultra dan diadakanlah RPD, sidang dipimpin Ketua DPRD Prov Sultra saat itu Brigjen Sudjatmiko namun tiada keputusan tetap.
Kembali Pembina AP2 Laode Hasanuddin menyatakan bahwa kasus ini tidak akan ada solusi, tidak akan ada penyelesaian karena DPRD bukan lembaga yang menentukan sikap masalah eksekusi hukum tali sebagai lembaga penyaluran aspirasi. Apalagi Ada praduga yang diungkapkan Laode Hasanuddin yang ingin mempertanyakan berapa hektar tanah Ketua DPRD provinsi mendapatkan di Nanga-nanga.
“Dan yang kami desak ke gedung ini
adalah hasil Paripurna tanggal 16 Oktober 2019 tentang hibah tanah,” tegasnya.
Laode Khasana, salah serang tokoh masyarakat Nanga-nanga juga menyampaikan bahwa sebetulnya pemerintah tidak bisa membuktikan kepemilikan Pemprov, karena tidak ada batas atau pal benton selaku batas dengan masyarakat.
“Masalah kepemilikan lahan di Nanga-nang kalau ada siapa yang berbatas dengan tanah Pemerintah, sedangkan kami selaku masyarakat Nanga-nanga mempunyai bukti bukti di jaman gubernur Nur Alan. Ada sertifikat yang diterbitkan seluas 4 hektar salah satu mantan Kadis diknas provinsi kalau tanah asset Pemprov kenapa bisa keluarga sertifikat,” ujarnya.
Laode Khasana meminta kepada Pemprov tentang aset Pemda tak bergerak tahun 2006 kebawah, “bisa ditunjukkan ndak???” ungkap Laode Khasana.
“Lahan tanah Nanga-nanga pernah diukur oleh dinas terkait dengan alasannya
untuk identifikasi lahan masyarakat kalau ndak salah tahun 2013,” ungkap Laode khasana, tetapi hanya sebatas mengatas namakan.
“Ternyata kami masyarakat dibohongi.
Himbauan kami kepada Pemerintah Pemprov agar pemerintah menolong dan membantu kami sebagai masyarakat, bukan menodong dan merampok hak-hak kami.” Tutupnya.(Iskandar Rapi)