Jakarta – Cakupan pengobatan ARV untuk HIV dan AIDS terburuk di Asia Pacific, IAC minta Menkes audit program AIDS.
Cakupan pengobatan AIDS atau pengobatan ARV di Indonesia tercatat hanya 17% dan angka ini adalah yang terburuk di regional Asia Pacific bahkan Dunia.
Dengan hanya ada sekitar 140 ribu orang dengan HIV yang berada dalam pengobatan ARV artinya ada 500.000 ribu lainnya masih belum ada dalam pengobatan – bahkan masih belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV.
Direktur Eksekutif IAC Aditya Wardhaya lebih lanjut lagi mengatakan, “Capaian yang yang buruk ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Yang utama adalah kurangnya political will dari pemerintah dan layanan untuk memberlakukan Test and Treat.”
Ditambahkan, keterlambatan dalam mengadopsi pembelajaran terbaik dari negara lain yang nyata-nyata mendukung program AIDS, masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada kelompok terdampak AIDS seperti orang dengan HIV, pekerja seks, LGBT, pengguna narkotika, perempuan dan anak sampai dengan mahalnya harga obat ARV yang dibeli oleh pemerintah Indonesia dari industri farmasi BUMN.
Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah organisasi kelompok aktifis kesehatan menyerukan agar Menkes segera melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS termasuk pelaksananya.
“Dengan hanya 17% cakupan obat ARV, tidak heran jika angka kematian akibat AIDS berdasarkan permodelan akan terus meningkat sampai dengan 2020 nanti.” ujar Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC.
Dikatakan, UNAIDS, sebagai badan PBB yang bertanggung jawab untuk program AIDS, telah membuat sebuah permodelan dimana diestimasikan kematian akibat AIDS akan meningkat dari 45 ribu di tahun 2018 menjadi 48 ribu di tahun 2020 dan angka ini akan terus meningkat seiring dengan rendahnya cakupan ARV pada ODHA.
“IAC menilai ini sebuah tanda bahaya bagi Indonesia sebab dengan angka cakupan ARV yang rendah ini, potensi penularan juga akan menjadi tinggi karena obat ARV selama ini diyakini secara ilmiah mampu mencegah penularan HIV baru.” Tegasnya.
Dikatakan, masih banyak prosedur yang dijalankan oleh layanan kesehatan sebelum memberikan obat ARV kepada ODHA diyakini juga turut menjadi pemicu rendahnya cakupan pengobatan ARV ini.
“Begitu tahu status HIVnya, seharusnya berdasarkan evidence global, ODHA itu bisa langsung diberikan obat ARV namun dalam faktanya, ODHA masih diminta untuk melakukan tes-tes penyerta lain sebelum bisa diberikan obat ARV.” Tambah Aditya.
Sedangkan Kooedinator Advokasi dan Hak Asasi Manusia IAC Sabam Manalu mengatakan,”Semestinya Untuk tes-tes ini bisa dilakukan belakangan.” Ujarnya.
“ODHA di Indonesia sendiri tergolong sebagai ODHA yang kurang beruntung di dunia sebab pengobatan ARV yang diberikan pada ODHA masih menggunakan jenis-jenis regimen obat ARV yang jadul.” Ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama Aditya menyayangkan terkait pemberian obat obat yang tahun 60 an, “Masih banyak ODHA yang diberikan obat-obatan ARV dari jenis regimen AZT sementara kita tahu AZT sendiri telah dipergunakan sejak tahun 1960-an sebagai obat kanker dan telah digunakan sebagai terapi HIV di tahun-tahun awal epidemi AIDS ditemukan di dunia tahun 1980-an.”
“Sedangkan untuk saat ini telah ada obat-obatan baru yang berdaya kerja tinggi seperti Dolutegravir namun belum diperkenalkan di Indonesia.” tambah Aditya yang juga biasa dipanggil Edo.
Obat ARV jenis Dolutegravir ini selain lebih ampuh karena bisa lebih cepat memulihkan kondisi kesehatan ODHA, juga harganya jauh lebih murah dibanding obat-obatan ARV yang saat ini digunakan dan dibeli oleh Kementerian Kesehatan.
Dalam pertemuan Fast Track Cities minggu lalu awal bulan September 2019 ini yang diselenggarakan di London, banyak kota di dunia yang telah melaporkan keberhasilan mereka dalam cakupan obat ARV ini sampai berhasil memberikan pengobatan ARV kepada sebesar 90% dari total orang dengan HIV di wilayahnya seperti kota London, Amsterdam, Manchester dan Brighton. Berdasarkan data yang dilaporkan kepada UNAIDS, ada 16 kota yang telah sukses mencapai target 90% ODHA dalam pengobatan.(Wismo)