Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan bahwa penghinaan terhadap presiden tidak bisa dipidana. Apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) sudah resmi mencabut pasal tersebut dari dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Kalau dia mengancam (fisik) harus dimaknai sebagai kejahatan, tapi kalau orang melakukan kritik harusnya tidak dipidana, apa pun bentuk (kritiknya),” ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam diskusi di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa, (03/09/2019).
Ia menegaskan bahwa aturan tersebut tidak dapat disandingkan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
“Kalau dia bekerja atas nama jabatan dan menimbulkan kebijakan yang salah ya boleh dikritik, dan itu sah-sah saja,” ujar dia.
Pasal 218 ayat 1 RKHUP berbunyi, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. Anam menilai ada kerancuan hukum dalam pasal tersebut. Sebab, tidak ada penjelasan mengenai batasan menghina dan mengkritik.
“Penjelasan yang tidak jelas itu berpotensi tidak adanya kepastian hukum serta mengakibatkan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum,” pungkas dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut masih ada tujuh poin yang masih dibahas legislatif dan eksekutif dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pemerintah dan DPR belum mencapai kata sepakat.
“Soal (penghinaan) presiden, kemudian soal hukum adat, kemudian soal LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender),” kata Fahri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2019.
Fahri mendapat informasi terkait pasal penghinaan presiden diwacanakan masuk delik aduan dalam RKUHP. Artinya, proses hukum baru bisa berjalan bila presiden melaporkan.
“Sama saja kayak dulu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga begitu,” ungkap dia dilansir dari MetroTV.