Jakarta, Platmerahnews.com – Pemalsuan dokumen oleh oknum tertentu dalam aktivitas impor barang perlu diungkap secara jelas. Dalam salah satu kasus yang sedang disidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Jakarta, belum ada penjelasan terkait beberapa dokumen impor. Sebaliknya, importir yang seharusnya hanya melakukan jasa impor justru mengklaim sebagai pemilik barang.
Hal itu terungkap dalam sidang kasus impor barang di PN Jakarta Barat, Jakarta, dengan terdakwa Hary sebagai pemilik CV Saint Perkasa yang diduga melakukan penipuan dan pemalsuan dokumen impor barang dari China. Padahal, semua persyaratan kepabeanan dan biaya sejak pengajuan pemberitahuan impor barang (PIB) sudah dipenuhi konsumen sesuai aturan yang berlaku. Kasus pidana itu sudah beberapa kali disidang di PN Jakarta Barat yang dipimpin hakim Mochamad Arifin. Adapun korban tindak pidana pemalsuan dokumen impor adalah MS dan PT VTM.
“Secara hukum milik saya,” kata Hary ketika ditanya hakim Mochamad Arifin siapa pemilik barang tersebut dalam sidang pada Rabu (28/8).
Hakim lalu menanyakan mengapa pembayaran PIB dan notul justru dilakukan orang lain? Hal itu berarti kepemilikan barang tersebut berada pada pihak lain.
“Mengapa dibayarkan orang lain dan ada transfer ke dirimu. Berarti barang tersebut bukan milikmu,” tanya hakim.
Hary lalu menjelaskan bahwa keuangan perusahaan dia tidak mencukupi sehingga ada kerja sama dengan pihak lain, yakni MS dan PT VTM. Setelah didesak oleh hakim anggota lainnya, Hary menjelaskan bahwa barang sebanyak tiga kontainer sudah diserahkan kepada customer yang menggunakan jasa impornya.
Menanggap hal ini, kuasa hukum dari para korban, Emanuel M Kota, menegaskan bahwa importir itu hanya melakukan jasa impor sesuai permintaan pemilik barang. Klaim tersebut justru menyalahi peran dan tugas sebagai importir.
Menurut Manche, panggilan akrabnya, impor yang dilakukan tersebut didasari kerja sama yang saling percaya dan mengikuti semua prosedur impor dari pemerintah.
“Kalau ada klaim sebagai pemilik berarti itu tidak benar. Kesepakatan yang dibuat dan pembayaran yang dilakukan customer justru memperkuat kepemilikan barang tersebut,” ujar Emanuel, Senin (2/9).
Pada kesempatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga mempertanyakan adanya surat yang berbeda untuk dokumen PIB dan notul yang sama.
Dalam sidang terpisah, kuasa hukum korban Wahyu Sandya menyerahkan duplik atas replik dari penggugat Hary. Majelis hakim diminta menolak gugatan dari Hary sebagai penggugat atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Dalam gugatannya, Hary menyebutkan tidak jelasnya obyek yang disengketakan. Padahal, dalam duplik tersebut dijelaskan persoalan yang terjadi bukan pada obyek tetapi terkait transaksi barang yang dipesan customer.
“Yang dipermasalahkan yaitu terkait transaksi jual belinya barang atas pemesanan tergugat, akan tetapi dalam hal ini justru menjelaskan dan mempermasalahkan juga terkait biaya dokumen impor yang telah dibayarkan. [MK]