Jakarta, Platmerahnews.com – Praktik pemalsuan dokumen impor masih saja dilakukan sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab. Salah satu kasusnya tengah diproses di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Jakarta, ditengarai merugikan konsumen (customer) dan keuangan negara.
Kasus tersebut melibatkan importir Hary sebagai pemilik CV Saint Perkasa yang diduga melakukan penipuan dan pemalsuan dokumen impor barang dari China.
Padahal, semua persyaratan kepabeanan dan biaya sejak pengajuan pemberitahuan impor barang (PIB) sudah dipenuhi konsumen sesuai aturan yang berlaku.
Kasus pidana itu sudah beberapa kali disidang di PN Jakarta Barat yang dipimpin hakim Moh. Arifin.
Adapun korban tindak pidana pemalsuan dokumen impor adalah MS dan PT VTM. Keduanya telah beberapa kali menggunakan jasa importir dari CV Saint Perkasa, tetapi belakangan menjadi korban penipuan.
Dalam sidang terakhir, saksi ahli Alfitra dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menegaskan bahwa surat atau dokumen yang dipalsukan isinya maka perbuatan itu tindak pidana dan instansi yang memberikan surat tersebut harus membuktikan atau menyakinkan keaslian surat tersebut.
“Kalau isi surat dipalsukan maka perbuatan itu merupakan tindak pidana. Instansi yang memberikan surat tersebut harus menyakinkan bahwa itu palsu atau bukan,” ujar Alfitra yang menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yan Ervina.
JPU mempertanyakan kepada saksi ahli terkait dengan sebuah surat yang dikeluarkan dalam dua versi yang berbeda, yakni satu untuk kepentingan administrasi instansi dan satunya lagi untuk urusan penagihan uang. Tindakan itu diduga kuat telah memalsukan surat atau dokumen yang dikeluarkan sebuah instansi.
Terkait hal ini, kuasa hukum korban, Emanuel M Kota, menegaskan bahwa tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat sudah diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun,” demikian bunyi pasal 263 ayat 1.
Emanuel yang biasa disapa Manhe itu lalu menyebutkan dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap akta-akta otentik; surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; dan surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
“Dalam kasus ini yang dipalsukan adalah masuk dalam kategori akta otentik. Dalam persidangan terbukti bahwa bukti PIB dan notul yang asli dan palsu disampaikan dengan dilegalisir dari pihak Bea dan Cukai (untuk membuktikan keasilan),” tegas Manche di Jakarta, Senin (19/8).
Manche dari Kantor Hukum Mansa dan Rekan ini menambahkan bahwa dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen atau surat tersebut harus dikupas tuntas karena sudah merugikan negara dan konsumen.
Dalam sidang pekan lalu, Ketua Majelis Hakim M Arifin menegaskan kepada saksi ahli jika ada kesepakatan yang tidak disepakati maka hal itu masuk dalam perbuatan melawan hukum.
Dalam sidang sebelumnya, hadir sejumlah saksi dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Emas, Kanwil Ditejan Bea dan Cukai (DJBC) Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Kementerian Keuangan. Saksi dari pihak Bea dan Cukai, Isnu Dewatoro, menjelaskan bahwa importir tidak selalu menjadi pemilik sebuah barang impor, tetapi importir mendapatkan kuasa dari pemilik atau pihak yang mewakili pemilik barang. Hal itu bisa dibuktikan dengan berbagai dokumen perjanjian atau kontrak dan juga bukti transfer dalam urusan kepabeanan impor tersebut. [MK]